Adapun sunnah, dalilnya adalah Rosululloh SAW memerintahkan untuk membunuh Ka’ab bin Al-Asyrof dan Abu Rafi’ bin Abil Huqoiq, keduanya orang Yahudi. Adapun Ka’ab, ia selalu memprovokasi kaum musyrikin untuk memusuhi kaum muslimin, ia suka mengejek Nabi SAW dengan syairnya, ia juga suka menggoda isteri kaum muslimin. Bukhori dan Muslim meriwayatkan kisah pembunuhannya, Bukhori meriwayatkannya dari Jabir ra. Rosululloh SAW bersabda: “Siapakah yang mau membunuh Ka’ab bin Al-Asyrof? Sesungguhnya ia menyakiti Alloh dan Rosul-Nya.” Maka Muhammad bin Salamahpun berdiri dan berkata: “Wahai Rosululloh, apakah anda suka kalau aku membunuhnya?” beliau bersabda: “Ya.” Ia berkata: “Kalau begitu ijinkan aku mengucapkan beberapa kata (sesukaku).” Beliau menjawab: “Katakan saja.” Akhirnya Muhammad bin Salamahpun mendatangi Ka’ab (dan membunuhnya).
Disebutkan, Muhammad bin Maslamah beserta teman-temannya menipu Ka’ab dengan berpura-pura bahwa mereka mengelabui Ka’ab sebelum akhirnya berhasi membunuhnya, ini terjadi di benteng Mani’. Ibnu Hajar berkata: “Di dalam Mursal ‘Ikrimah disebutkan: Keesokan harinya, kaum Yahudi panik, lalu mereka datang menemui Nabi SAW dan mengatakan: “Pemuka kami dibunuh diam-diam”; maka Nabi SAW menceritakan ulah perbuatan Ka’ab yang suka mempengaruhi orang untuk memusuhi beliau dan selalu menyakiti kaum muslimin.” Sa’ad menambahkan: “Akhirnya orang-orang Yahudi takut dan tidak berkata sepatah katapun.” — hingga Ibnu Hajar berkata — : “Diantara kandungan hadits ini, boleh membunuh orang musyrik tanpa harus mendakwahinya terlebih dahulu jika dakwah Islam secara umum telah sampai kepadanya.
Kandungan lain, boleh mengatakan sesuatu yang diperlukan dalam perang walaupun kata-kata itu tidak sesuai dengan sebenarnya.” Bukhori mengeluarkan hadits ini dalam Kitabul Jihad, bab: berdusta dalam perang dan bab membunuh orang kafir harbi. Saya katakan: Siapa yang mengatakan bahwa melakukan ightiyal terhadap orang kafir yang memerangi Alloh dan Rosul-Nya SAW sebagai pengkhianatan terhadap janji atau kata-kata senada, atau mengatakan bahwa Islam mengharamkannya, berarti ia sesat dan mendustakan Al-Qur’an dan Sunnah. An-Nawawi berkata: “Al-Qodhi ‘Iyadh berkata: “Tidak boleh seorangpun mengatakan ightiyal adalah mengkhianati janji, dulu pernah ada seseorang mengatakannya di majelis ‘Ali bin Abi Tholib ra. maka diperintahkan agar lehernya dipenggal.” Kisah ini ditunjukkan Al-Qurthubi dalam menafsirkan firman Alloh SWT: فَقَاتِلُوا أَئِمَّةَ الْكُفْرِ Artinya: “…maka perangilah para pemimpin kekufuran…” Ibnu Taimiyah juga menyebutkannya dalam kitab beliau Ash-Shoorimul Maslul ‘Ala Syatimir Rosul, beliau juga menyebutkan kisah yang terjadi antara Mu’awiyah dan Muhammad bin Maslamah Radhiyallohu ‘Anhuma.
Adapun Ibnu Abil-Huqoiq, ia adalah orang Yahudi di Khaibar, pedagang di Hijaz, dialah yang dulu pergi ke Mekkah dan membujuk rayu kaum Quraisy untuk memerangi Nabi SAW sehingga terjadilah perang Ahzab. Dialah penyulut terjadinya perang Ahzab. Bukhori meriwayatkan dari Al-Barro’ bin ‘Azib ia berkata: “Rosululloh mengutus beberapa orang Anshor untuk membunuh Abu Rofi’ — nama lain Ibnu Abil Huqoiq — si Yahudi, beliau mengangkat ‘Abdulloh bin ‘Atiq sebagai pimpinan. Abu Rofi’ selalu menyakiti Rosululloh SAW dan melakukan konspirasi melawan beliau. Saat itu ia sedang berada di dalam bentengnya di daerah Hijaz.” Bukhori juga meriwayatkan masih dari Barro’: “Rosululloh SAW mengutus satu kelompok kepada Abu Rofi’, maka Abdulloh bin ‘Atiq masuk ke kediamannya di malam hari ketika ia terlelap tidur lalu membunuhnya.” ‘Abdulloh bin ‘Atiq juga melakukan kamuflase sehingga ia berhasil membunuhnya. Ia melakukan kamuflase sehingga berhasil masuk ke dalam benteng kemudian ia tutup pintu orang-orang Yahudi dari luar, ia berjalan hingga sampai ke tempat Abu Rofi’, tidaklah ia memasuki sebuah pintu kecuali ia kunci dari dalam, ia juga merubah suaranya sehingga tidak dikenali. Ibnu Hajar berkata: “Termasuk faedah hadits ini adalah boleh membunuh orang musyrik secara diam-diam, yang sudah didakwahi tapi tetap musyrik, atau orang yang melakukan konspirasi melawan Rosululloh SAW dengan tangan, harta, atau lisannya, boleh juga melakukan spionase terhadap orangorang kafir harbi serta bersikap keras dalam memerangi orang musyrik, boleh juga menyamarkan perkataan untuk tujuan maslahat, dan diperbolehkan juga pasukan Islam yang sedikit menerobos orang musyrik yang banyak.” Mengenai masalah ightiyal terhadap aimmatul kufr, Syaikh ‘Abdurrohman Ad- Dausari Rahimahulloh ketika menyebutkan tingkatan-tingkatan Ubudiyah dalam tafsir firman Alloh SWT: “Iyyaka Na’budu wa Iyyaka Nasta’in…” berkata: “Kemudian, menyiapkan kekuatan semampunya termasuk kewajiban agama dan konsekuensi bagi yang ingin menegakkannya.
Seorang ahli ibadah yang benar tidak akan nyaman menunda-nunda perkara ini, apalagi meninggalkan atau meremehkannya. Demikian juga, seorang hamba yang memiliki tekad kuat untuk berjihad dalam waktu yang sama pasti ingin menjadi pelaku ightiyal terhadap A’immatul Kufri (pemimpin-pemimpin kekufuran); para propagandis ajaran menyimpang dan amoral serta orang-orang yang mencela wahyu Alloh dan yang menggerakkan pena atau propagandanya untuk menentang agama yang lurus ini. Karena itu orang seperti ini telah menyakiti Alloh dan Rosul-Nya SAW. Tidak dibenarkan bagi kaum muslimin di jengkal bumi manapun, baik orang yang paham agama atau yang awam, untuk membiarkan orang seperti ini tetap hidup, karena ia lebih berbahaya daripada Ibnul Huqoiq atau semisalnya yang oleh Rosululloh SAW diperintahkan untuk dibunuh diam-diam.
Maka, tidak membunuh orang-orang yang menjadi pewaris mereka di zaman sekarang sama artinya meninggalkan wasiat Nabi SAW, berarti pula adalah: kekurangan yang fatal dalam ‘ubudiyah terhadap Alloh dan terlalu dalam berkompromi dengan perangkat yang bakal menghancurkan agama Alloh. Tidak ada yang dilegakan dadanya melihat hal ini selain orang yang tidak memiliki kecemburuan terhadap agama Alloh dan tidak marah karena mengharap wajah-Nya yang mulia. Itu juga kekurangan yang besar pada kecintaan serta pengagungan terhadap Alloh dan Rosul-Nya, tidak akan mungkin dilakukan oleh orang yang merealisasikan Ubudiyyah kepada Alloh dengan maknanya yang tepat dan sesuai syar’i.” Demikian perkataan beliau. Saya katakan: Di sini muncul satu masalah, yaitu jika orang kafir tidak bisa dibunuh kecuali dengan membunuh wanita dan anak-anak yang bersama dia, bolehkah ia dibunuh? Jawabnya: Mereka boleh dibunuh walaupun mereka tidak ikut perang atau pun membantu peperangan, ini ketika tidak memungkinkan membunuh orang kafir kecuali dengan cara itu, asal tidak melakukannya secara sengaja.
Mengenai masalah ini terdapat dua hadits: • Hadits Ibnu ‘Umar ra. ia berkata: وُجِدَتِ امْرَأَةٌ مَقْتُولَةً فِي بَعْضِ تلك مَغَازِي، فَنَهَى رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم عَنْ قَتْلِ النِّسَاءِ وَالصِّبْيَانِ Artinya: “Ditemukan seorang wanita yang terbunuh pada salah satu peperangan, maka Rosululloh SAW melarang untuk membunuh wanita dan anak-anak.” Dalam riwayat lain: “Maka Rosululloh SAW mengingkari…” sebagai ganti: “…melarang…” • Kemudian hadits Sho’b bin Jatstsamah ra. ia berkata: سُئِلَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم عَنِ الذَّرَارِيِّ مِنَ الْمُشْرِآِينَ یُبَيَّتُونَ فَيُصِيبُونَ مِنْ نِسَائِهِمْ وَذَرَارِیِّهِمْ فَقَالَ: هُمْ مِنْهُمْ Artinya: “Rosululloh ditanya mengenai anak-anak kaum musyrikin, mereka diserang malam hari kemudian terkena wanita dan anak-anak mereka, maka beliau bersabda: “Mereka termasuk mereka.” Dalam lain riwayat: أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم قِيلَ لَهُ لَوْ أَنَّ خَيْلًا أَغَارَتْ مِنَ اللَّيْلِ فَأَصَابَتْ مِنْ أَبْنَاءِ الْمُشْرِآِينَ قَالَ هُمْ مِنْ آبَائِهِمْ Artinya: “Bahwa ditanyakan kepada Nabi SAW tentang pasukan berkuda yang menyerang di malam hari kemudian terkena anak-anak orang musyrik, maka beliau bersabda: “Mereka termasuk bapak mereka.” An-Nawawi berkata: “Maksud mereka termasuk bapaknya adalah: Tidak mengapa melakukan penyerangan tersebut, karena hukum bapak-bapaknya berlaku juga untuk mereka, seperti dalam masalah waris, nikah, qishosh, diyat dan sebagainya. Yang dimaksud tentunya ketika melakukan tanpa sengaja dan terpaksa.
Adapun hadits yang melarang membunuh wanita dan anak-anak tadi, maksudnya adalah dilarang ketika mereka tidak bercampur (terpisah dari orang musyrik). Hadits yang kami sebutkan mengenai bolehnya menyerang kaum musyrikin di malam hari dan bolehnya membunuh wanita dan anak-anak ketika penyerangan malam ini adalah madzhab yang kami pegang, juga madzhab Malik, Abu Hanifah dan jumhur. Makna Al-Ba’iat dan Yubayyitun adalah menyerang musuh di malam hari yang mana tidak bisa diketahui mana lakilaki, mana wanita dan mana anak-anak. Adapun Adz-Dzaroriy — dengan ya’ tasydid, ada juga yang tanpa tasydid (Adz-Dzarori) — ada dua ungkapan bahasa, menggunakan tasydid lebih fasih, maksudnya di sini adalah wanita dan anak-anak.
Hadits ini menjadi dalil bolehnya menyerang di malam hari dan boleh menyerang secara mendadak terhadap orang yang dakwah Islam sudah sampai kepada mereka tanpa harus memberitahu terlebih dahulu kalau mau menyerang. Termasuk isi hadits ini, bahwa anak-anak orang kafir hukumnya sama dengan ayahnya ketika di dunia; adapun di akhirat, jika mereka mati sebelum baligh terdapat tiga pendapat yang berbeda.” Ibnu Qudamah berkata: “Boleh menyerang orang kafir malam hari dan membunuh mereka ketika mereka lengah. Imam Ahmad berkata: Tidak mengapa menyerang malam hari, bukankah perang melawan Romawi dilakukan malam hari? Beliau berkata lagi: Setahu kami tidak ada seorangpun me-makruh-kan menyerang musuh di malam hari.
Sufyan membacakan hadits kepada beliau, dari Az-Zuhri ‘Abdulloh dari Ibnu ‘Abbas dari Ash-Sho’b bin Jatstsamah ia berkata, Aku mendengar Rosululloh SAW ditanya mengenai perkampungan orang-orang musyrik yang kami serang malam hari kemudian kena wanita dan anak-anak mereka, maka beliau bersabda: هُمْ مِنْهُمْ ”Mereka termasuk mereka.” Lalu beliau mengatakan: Isnadnya jayyid (baik). Jika dikatakan: bukankah Nabi SAW melarang membunuh wanita dan anakanak? Kami katakan: Itu jika dilakukan dengan sengaja. Ahmad berkata: Jika melakukannya dengan sengaja, maka tidak boleh. Beliau berkata: Hadits Sho’b datang setelah Rosululloh SAW melarang membunuh wanita, karena larangan beliau ini datang ketika beliu mengutus satu kelompok untuk membunuh Ibnu Abil Huqoiq, lagipula kedua hadits ini bisa dikompromikan, yaitu: Dilarang kalau sengaja, dan boleh kalau tidak sengaja.” Saya katakan: Ibnu Hajar mengisyaratkan adanya kemungkinan hadits Sho’b itu mansukh (terhapus hukumnya), karena ada lafadz tambahan yang disisipkan di sana bersumber dari perkataan Az-Zuhri seperti tercantum dalam Sunan Abu Dawud, ia mengatakan di akhir hadits: Sufyan berkata, Az-Zuhri berkata: “Setelah itu, Rosululloh SAW melarang untuk membunuh wanita dan anak-anak.” Ibnu Hajar berkata: “Seolah Az-Zuhri mengisyaratkan mansukh-nya hadits Sho’b…” Hanya saja, mengenai kapan riwayat ini muncul masih diperselisihkan, ada yang mengatakan ketika Rosululloh SAW mengirim orang untuk membunuh Ibnu Abil Huqoiq, ini riwayat Abu Dawud, sedangkan menurut riwayat Ibnu Hibban adalah sebelum Perang Hunain.” Abu Bakar Al-Hazimi menyebutkan dua hadits ini dan berkata: Sebagian ulama berpendapat bahwa hadits yang pertama menghapus hadits kedua. Sebagian lagi berpendapat sebaliknya, sebagian lagi mengkompromikan kedua hadits. Kemudian beliau menyebutkan perkataan Asy-Syafi’i — yang memperkuat pendapat dikompromikannya kedua hadits — : ”Asy-Syafi’i berkata, Hadits Sho’b datang di akhir umroh Nabi SAW, sebab kalau itu terjadi pada awal umroh beliau, tanpa diragukan lagi pembunuhan terhadap Ibnu Abil-Huqoiq telah dilakukan, Wallohu A’lam.” Asy-Syafi’i Rahimahulloh berkata: “Setahu kami, Rosululloh SAW tidak memberikan dispensasi untuk membunuh wanita dan anak-anak lantas melarangnya, makna larangan membunuh wanita dan anak-anak menurut kami — Wallohu A’lam — adalah jika dilakukan dengan sengaja padahal tahu kalau wanita dan anak-anak itu terpisah dari orang yang diperintahkan dibunuh.” Kemudian makna dari kata” منهم ” (mereka termasuk mereka) adalah menyandang dua status sekaligus, pertama mereka tidak dihukumi beriman yang menghalangi mereka untuk dibunuh, dan tidak dihukumi pemukiman orang beriman yang menghalangi untuk diserang ketika lengah.
Oleh sebab itu, Nabi SAW memperbolehkan menyerang perkampungan itu pada malam hari dan beliau sendiri menyerang Bani Mustholiq pada malam hari. Sudah menjadi maklum, jika menyerang dan menyerbu pada malam hari diperbolehkan oleh Nabi SAW maka siapapun tidak dilarang menyerang pada malam hari meski harus mengenai wanita dan anak-anak. Dengan demikian, ia tidak berdosa dan tidak harus membayar diyat atau diqishosh sebagai balasan orang yang terkena tadi, mengingat bahwa menyerang mereka di malam hari atau ketika mereka lengah diperbolehkan, mereka tidak dianggap terlindungi seperti orang Islam, selagi tidak membunuh mereka dengan sengaja atau tahu bahwa mereka terpisah dari kaum pria.
Sebenarnya, anak orang kafir tidak boleh dibunuh karena mereka belum baligh, anak-anak orang kafir tersebut belum baligh, anak-anak orang kafir tersebut belum sampai mengamalkan kekufuran sehingga layak dibunuh. Sedangkan wanita, karena mereka tidak berarti apapun dalam perang.” Sampai di sini perkataan beliau. Saya katakan: Inti perkataan Asy-Syafi’i — dinukil oleh An-Nawawi tadi — adalah membunuh wanita dan anak-anak tidak berdosa jika mereka tidak terpisah dari orang kafir yang hendak dibunuh, asal tidak dilakukan dengan sengaja. Wallohu A’lam.